KOMISI II DPRRI, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemiihan Umum (DKPP) dan Kementerian Dalam Negeri sepakat jika kotak kosong menang atas calon tunggal pada Pilkada nanti, maka pemilihan akan digelar tahun berikutnya. Apa dampaknya?
HINGGA perpanjangan tenggat pendaftaran pasangan bakal calon kepala daerah ditutup 4 September lalu, masih ada 41 daerah yang hanya memiliki satu calon saja atau calon tunggal. Ini berarti dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) nanti, calon tunggal itu akan melawan kotak kosong, dan tidak tertutup kemungkinan jika warga lebih memilih untuk memberikan suara ke kotak kosong jika calon tunggal dinilai tidak sesuai harapan. Itu berarti akan ada 41 daerah di mana kotak kosong berpotensi memenangkan pilkada.
Ke-41 daerah dengan calon tunggal tersebut adalah Provinsi Papua Barat serta kabupaten Aceh Utara, Aceh Tamiang, Tapanuli Tengah, Asahan, Pakpak Bharat, Serdang badagai, Labuhanbatu Utara, Nias Barat, Dharmasraya, Batanghari, Ogan Ilir, Emoat Lawang, Bengulu Utara, Lampung Barat, Lampung Timur, Tulang Bawang Barat, Bangka, Bangka Selatan, Bintan, Ciamis, Banyumas, Sukoharjo, Brebes, Trenggalek, Ngawi, Gresik, Benkayang, Tanah Bumbu, Balangan, Malinau, Maros, Muna Barat, Pasangkayu, Manokwari dan Kaimana. Satu pasangan calon juga ada di kota Pangkal Pinang, Pasuruan, Surabaya, dan Tarakan.
Ketua KPU Mochammad Afifuddin mengatakan berdasarkan Pasal 54 d UU No.10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, Ayat 1 menyatakan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapan pasangan calon terpilih pada pemilihan dengan calon tunggal jika mendapatkan suara lebih dari 50 persen. Kalau perolehan suaranya kurang dari 50 persen, pasangan kandidat yang kalah bisa mendaftar kembali dalam pemilihan baru pada tahun berikutnya. Sebelum pemiihan baru digelar, pemerintah menunjuk penjabat gubernur, bupati, atau wali kota.
Masinton Pasaribu dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang menduga adanya persekongkolan untuk hanya mencalonkan satu pasang calon kepala daerah, mendesak KPU untuk membuat aturan yang mendorong partisipasi publik. “Karena ini sudah menjadi bagian persekongkolan di sana (daerah dengan calon tunggal). Pokoke, pokoke, calon tunggal. Apapun dasarnya calon tunggal,” katanya.
Hal senada disampaikan Guspardi Gaus dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) yang menilai fenomena calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah sebagai hal yang direkayasa. Oleh karena itu jika kotak kosong yang meraih suara lebih besar dalam pilkada serentak 27 November nanti, Guspardi mengusulkan dilakukan pemilihan ulang.
“Orang yang kalah di calon tunggal mendatang berhadapan dengan kotak kosong, berarti orang itu kan orang yang tidak disukai. Kalau sudah tidak disukai, tentu kebijakan kita saja sekarang ini,” katanya.
Bawaslu Setuju Pilkada Ulang Jika Kotak Kosong Menang
KETUA Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Rahmat Bagja mengatakan setuju untuk menggelar pilkada baru pada tahun berikutnya jika kotak kosong yang menang. Ia merujuk pada Pasal 54 D ayat 3 UU Nomor 10 Tahun 2016, di mana ada dua pilihan waktu bagi KPU dalam menggelar pemilihan baru jika calon tunggal kalah dari kotak kosong, yakni pemilihan baru dilakukan tahun berikutnya atau pemilihan baru digelar mengikuti jadwal yang telah dimuat dalam peraturan undang-undang atau lima tahun.
“Fase pemilihan berikutnya sebagaimana termaktub pada Pasal 54 D ayat 2 dan 3 UU Nomor 10 Tahun 2016 sesungguhnya adalah penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang dilakukan dengan tahapan yang baru sejak dari tahapan awal,” ujarnya.
Rahmat menjelaskan frase pemilihan berikutnya memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk mengajukan diri dalam pemilihan kepala daerah, termasuk pada calon tunggal yang kalah dari kotak kosong.
Dalam kesimpulan rapat dibacakan oleh Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golongan karya Ahmad Doli Kurnia, Komisi II, KPU, Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemiihan Umum (DKPP), dan Kementerian Dalam Negeri sepakat jika kotak kosong yang menang atas calon tunggal, maka pemilihan baru digelar tahun berikutnya pada 2025.
Pakar Kritisi Sentralisasi Pencalonan
PENGAJAR hukum pemilihan umum di Universitas Indonesia Titi Anggraini menjelaskan alasan Mahkamah Konstitusi melegalkan calon tunggal dalam putusan tahun 2015 adalah untuk memberikan solusi atas kasus-kasus calon tunggal setelah dilakukan upaya maksimal menghadirkan minimal dua pasangan calon. Upaya maksimal dimaksud antara lain membuka pendaftaran baru, memverifikasi ulang dan melakukan berbagai upaya lain untuk merangsang partisipasi publik.
Fenomena tahun 2015 itu berbeda dengan tahun 2024 ini. Titi menilai banyaknya calon tunggal yang muncul dalam pilkada merupakan ekses agenda elit politik nasional yang dipenetrasi lewat rekomendasi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai yang hanya menghasilkan calon tunggal.
“Kalau calon tunggal pada 2015 dilakukan untuk memberikan akses pencalonan kepada partai, pasca 2015 calon tunggal disertai motif untuk menutup akses pencalonan oleh partai dengan memborong semua tiket lebh dari sepuluh partai. Sehingga parai tersisa tidak bisa mengusung calon,” tuturnya.
Titi menyebutkan pada pemilihan kepala daerah tahun ini terdapat sentralisasi pencalonan dan hegemoni pengurus pusat partai politik melalui rekomendasi dari DPP partai sebagai syarat pengajuan calon. Dia menegaskan fenomena kotak kosong menunjukkan ekspresi politik yang berbeda dengan calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik; bukan karena rendahnya partisipasi pemilih atau kualitas demokrasi.
[fw/em]