KEPUTUSAN pemerintah untuk mengijinkan aborsi pada kehamilan hingga 14 minggu pada kasus tertentu, dari sebelumnya hanya maksimum 6 minggu kehamilan, disambut aktivis kesetaraan gender namun ditentang Majelis Ulama Indonesia.
PERATURAN pemerintah yang ditandatangani presiden Joko “Jokowi” Widodo pada 16 Juli lalu itu merupakan pelaksanaan dari undang-undang terkait kesehatan yang diterbitkan pada tahun 2023, di mana salah satunya memberikan ketentuan teknis terkait layanan aborsi aman untuk korban perkosaan dan kekerasan seksual serta indikasi kedaruratan medis.
Kebijakan ini sejalan dengan tuntutan aktivis kesetaraan gender agar diberikan kelonggaran waktu untuk aborsi dalam kasus darurat medis dan kehamilan karena perkosaan, sehingga perempuan tidak dipenjara karena menggugurkan kandungan setelah 6 minggu (40 hari) di tengah kurangnya akses terhadap layanan aborsi yang aman.
Johanna Poerba, peneliti di Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyambut baik peraturan baru itu.
“Seorang perempuan terkadang kan tidak sadar kalau dia hamil dalam waktu 40 hari (6 minggu). Penambahan waktu ini sudah tepat,” ujar Johanna kepada BenarNews.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga mengapresiasi dan mendukung ketentuan aborsi bagi korban tindak pidana kekerasan seksual, mengatakan ini adalah bagian dari hak korban untuk mendapatkan pemulihan.
MUI Menentang
MAJELIS Ulama Indonesia (MUI), namun demikian, menentang perpanjangan batas waktu aborsi hingga 14 minggu kehamilan. Fatwa organisasi tersebut menetapkan bahwa aborsi hanya dapat dilakukan sebelum janin berusia 40 hari, menurut Cholil Nafis, ketua divisi dakwah MUI.
“Para ulama sepakat bahwa aborsi tidak boleh dilakukan setelah ruh ditiupkan ke dalam janin, yakni pada usia kandungan 14 hari. Secara fundamental, aborsi dilarang dalam Islam, kecuali dalam keadaan terpaksa dan dengan syarat-syarat tertentu,” kata Cholil kepada BenarNews, Kamis (1/8).
Dalam fatwanya, MUI menyatakan kondisi darurat terkait kehamilan yang membolehkan aborsi antara lain ibu hamil yang menderita penyakit fisik berat seperti kanker stadium lanjut dan kondisi fisik berat lainnya yang ditetapkan oleh tim medis, katanya.
MUI menambahkan bahwa aborsi dibolehkan jika kehamilan membahayakan nyawa ibu, seperti janin terdeteksi memiliki cacat genetik yang tidak mungkin disembuhkan jika dilahirkan, kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh tim yang berwenang, yang meliputi anggota keluarga korban, dokter, dan ulama.
Cholil menegaskan bahwa aborsi dalam kondisi demikian harus dilakukan sebelum janin mencapai usia 40 hari. “Aborsi dilarang keras untuk kehamilan akibat zina!”
Sikap lembaga lain
WALAUPUN menyambut peraturan yang baru ini, Johanna dari ICJR berharap kebijakan ini tidak akan berjalan baik tanpa komitmen dan dukungan dari lembaga lain, termasuk kepolisian, untuk lebih tanggap terhadap laporan perkosaan dari masyarakat.
Ia merujuk pada temuan ICJR tahun 2021 yang mengungkap bahwa kepolisian telah menolak permohonan aborsi dari korban perkosaan berusia 12 tahun di Jombang, Jawa Timur.
“Belum ada komitmen nasional di kepolisian untuk menerbitkan aturan internal atau panduan untuk dapat menerbitkan surat dugaan perkosaan,” kata Johanna.
Komnas Perempuan juga menyampaikan hal senada.
“Perlu peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan, dokter dan tenaga kesehatan yang berperspektif gender, serta mekanisme koordinasi antara kepolisian, pendamping korban, dan fasilitas kesehatan tingkat lanjut,” kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi kepada BenarNews.
Asosiasi Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia mendukung regulasi tersebut dan menegaskan bahwa peraturan pemerintah terkait aborsi itu tidak melanggar norma yang berlaku di Indonesia.
“Ada ketentuan khusus dan pengecualian, bahwa aborsi hanya dapat dilakukan pada korban perkosaan atau mereka yang memiliki kedaruratan medis,” kata Ede Surya Darmawan, ketua asosiasi, kepada BenarNews.
Sebuah studi yang diterbitkan pada 2020 dalam jurnal International Perspectives in Sexual and Reproductive Health memperkirakan bahwa 1,7 juta aborsi terjadi di Jawa, pada 2018. Jawa merupakan pulau dengna penduduk terpadat di Indonesia dengan 151,59 juta penduduk atau 56,10 persen penduduk Indonesia.
Para peneliti menggunakan model yang menggabungkan data dari beberapa sumber seperti survei, catatan fasilitas kesehatan, dan pendapat ahli. Itu berarti tingkat aborsi adalah 43 per 1.000 perempuan berusia antara 15 dan 49 tahun.
Sebagai perbandingan, tingkat aborsi global adalah 39 per 1.000 perempuan berusia 15 hingga 49 tahun, menurut Institut Guttmacher. Tingkat aborsi regional untuk Asia Tenggara adalah 34 per 1.000 perempuan.
Penelitian tersebut menemukan bahwa sebagian besar perempuan yang melakukan aborsi di Jawa melakukannya secara mandiri, menggunakan metode seperti pengobatan tradisional atau pijat yang tidak bisa dijamin keamanannya.
Ami Afriatni berkontribusi pada artikel ini.