PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) saat menghadiri acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V Projo di Balai Ekonomi Desa Ngargogondo, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (21/5), menyampaikan bahwa harga minyak goreng di dalam negeri cukup stabil karena pemerintah mampu menekan kenaikan harga komoditas.
Bahkan, Jokowi membandingkan harga minyak goreng dan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite di Indonesia lebih murah dari sejumlah negara maju, seperti Singapura, Jerman, dan Amerika Serikat (AS).
Pernyataan Jokowi itu mendapat direspons dari Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda. Dia mengatakan pernyataan Presiden Jokowi itu tidak tepat. Huda pun mengingatkan pemerintah agar tidak terlalu percaya diri.
“Tidak apple to apple (seimbang) kalau bandingkan harga antarnegara tersebut karena ada perbedaan juga dalam purchasing power masing-masing masyarakat. Jadi pemerintah jangan terlalu pede (percaya diri) dengan data yang sesat itu,” kata Huda kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (21/5/2022).
Huda menjelaskan, harga Pertalite di Tanah Air memang lebih rendah dari bensin di Amerika Serikat, Jerman, dan Singapura seperti yang dikatakan Jokowi itu. Menurut catatan Jokowi, harga Pertalite hanya Rp 7.650 per liter.
Sementara itu, harga bensin di Amerika Serikat Rp 18.000 per liter, Thailand Rp 20.800 per liter, Singapura Rp 32.000 per liter, dan Jerman Rp 31.000 per liter.
Kemudian, minyak goreng curah di Indonesia bisa didapatkan dengan harga Rp 14.500 per liter. Jokowi menyebutkan minyak goreng di Jerman mencapai Rp 47.000, AS Rp 45.000, dan Singapura Rp 41.000 per liter.
“Artinya kita masih bisa mengendalikan inflasi, kenaikan harga-harga,” kata Jokowi.
Huda mengatakan, ada perbedaan daya beli masyarakat di negara-negara yang disebutkan Jokowi itu. Karena itu, perbandingan Jokowi tidak seimbang.
“Harga BBM dan minyak goreng di Jerman, Singapura, atau Amerika ya bisa saja tinggi, tapi pendapatan mereka juga tinggi. Harga BBM dan minyak goreng dua kali lipat dari kita, tapi pendapatan masyarakatnya juga dua kali lipat dari pendapatan kita,” jelasnya.
Selain itu, kata Huda, wajar jika harga minyak goreng lebih murah di dalam negeri. Sebab, Indonesia merupakan produsen minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) terbesar di dunia. Namun, minyak goreng malah sempat langka di Tanah Air, harganya pun kini melambung.
“Tapi sekarang, kita produsen CPO terbesar, eh malah barang susah didapatkan dan harganya tidak bisa dijangkau masyarakat,” ucapnya.
Selain itu, saat ini pemerintah masih memberikan subsidi untuk BBM jenis Pertalite. Huda mengatakan kebijakan ini tidak diterapkan di luar negeri.
Ia pun mengingatkan agar suntikan subsidi BBM ini betul-betul diperhatikan, sehingga tidak membebani APBN. Karena itu, Huda mengatakan pemerintah perlu mencari alternatif sumber pendapatan negara lain untuk bisa menutup kebutuhan subsidi energi.
“Pemerintah bisa memilah beban belanja yang berdampak luas ke masyarakat, sehingga cukup ruang fiskal,” katanya.
Ia pun mengatakan pemerintah bisa menaikkan harga Pertalita jika beban APBN sudah terlalu besar. Namun, kenaikan harga mesti dilakukan di waktu yang tepat.
“Ketika harga-harga kebutuhan sudah stabil, saya rasa tepat untuk menaikkan harga Pertalite. Tapi kalau dalam waktu dekat harga minyak masih tinggi, kebutuhan lainnya juga masih tinggi, maka kurang tepat untuk menaikkan harga Pertalite,” pungkasnya.
(*)
sumber: CNN Indonesia.com