Catatan Netizen
Judi & Kedai Makan ; Dua Kegilaan ‘Orang Singapura’

Oleh : Sultan Yohana
DI Singapura, ada dua antrian panjang yang begitu “jujur” memberitahu kita: apa yang menjadi obsesi terbesar masyarakatnya. Dua tempat antrian itu: selalu terjadi di kedai makan enak, dan toko togel.
Di Chinatown misalnya. Ada satu toko penjual bak kwa atau dendeng babi, yang jika Imlek menjelang, pembelinya bisa antri hingga enam jam. Hal yang tak bisa diterima “akal sehat” saya. Seenak apa pun itu dendeng, mending saya cari tempat lain jika harus antri sebegitu lama. Toh, begitu masuk perut, itu makanan bakal segera jadi tai. Untungnya pula, saya tak makan babi.
Di kedai-kedai nasi ayam yang beken, atau restoran kecil nan favorit; warga Singapura terbiasa antri hingga satu jam untuk sekedar sarapan atau makan malam. Di pasar dekat tempat tinggal saya di Ang Mo Kio; ada kedai nasi ayam yang antrinya hingga bisa ratusan meter. Saban jam. Sementara kedai ayam di sebelahnya, tidak ada orang yang beli sama sekali. Di daerah Kovan, ada kedai nasi lemak yang saban pagi antrinya menjadi-jadi, hanya karena – katanya – sambalnya enak.
Untuk urusan makan, orang Singapura memang “rada-rada” gila.
Juga untuk urusan togel. Coba saja datang ke koter Singapore Pool, toko yang khusus menjual togel. Dijamin akan melihat antrian yang mengular. Nyaris saban hari. Antrian menjadi sepanjang “kereta api” manakala menjelang penutupan jam taruhan. Apalagi jika hadiah yang dipertaruhkan berupa hadiah utama: jutaan dolar Singapura. Berjam-jam seorang bisa antri hanya untuk sekedar bertaruh. Terutama apek-apek dan auntie-auntie yang tidak tahu cara membeli togel lewat on-line. Untuk togel, Singapura memang legal. Sama seperti Malaysia yang juga selalu penuh antrinya.
Dan orang Indonesia, adalah konsumen judi yang sama gilanya.
Ya, orang Indonesia terkenal gemar berjudi juga. Bahkan apa saja bisa dijadikan taruhan. Dari nomor plat mobil yang lewat di depan penjudi jalanan yang sedang nongkrong di pinggir jalan; hingga pemenang Piala Dunia. Semua bisa dijadikan taruhan. Dari taruhan sekelas “nraktir kopi” hingga bernilai miliaran.
Coba Anda melongok kasino-kasino di Singapura! Isinya, sudah deh…, kanan-kiri-depan-belakang-samping-pojok…, begitu mudah mencari orang berbahasa Indonesia. Berbaju Indonesia. Saya sering melihat “wajah-wajah Indonesia” lesu, gundah, marah, mangkel; yang keluar dari kasino di Singapura, lalu pergi ke ATM yang biasa banyak disediakan di depan kasino. Menarik uang. Lalu masuk kasino lagi.
Di toko-toko togel di sini, terutama yang berada dekat pelabuhan-pelabuhan, banyak orang Indonesia ikut antri membeli. Seorang kawan saya, yang tinggal di Batam, hampir saban Rabu, Senin dan Sabtu antri beli togel di Pelabuhan Harbour Front. Setiap antri, dia bisa habis 50 dolar. Gabungan uang taruhan dia dan rekan-rekannya yang dititipkan padanya. Padahal penghasilannya kecil. Saya sempat mencandainya dengan mengatakan, “ayolah…, titipkan saja duitnya ke aku kalau mau beli togel. Nanti dua tahun lagi ambil! Pasti menang besar”. Sudah ditebak! Dia hanya menjawab dengan tawa. Lha wong namanya sudah candu, ya repot ngilanginnya. Dan orang Indonesia yang seperti ini, begitu melimpah.

Judi, sebagaimana korupsi, tidak akan pernah bisa hilang. Selama manusia menjadikan GENGSI sebagai tuhan, hingga untuk memenuhi gengsi itu, berlomba-lomba orang bermimpi cepat kaya, cepat terkenal, sekaligus cepat bangkrut dan binasa. Saya memang tak pernah percaya proses yang terjadi secara “cepat-cepat”.
Saya tidak pernah percaya pada sebuah revolusi!
(*)
Seperti ditulis Sultan Yohana di blog pribadinya.