RAIS, Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Miftachul Akhyar, mengirimkan surat pengunduran diri dari jabatan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pria yang karib disapa Kiai Miftah itu menyampaikan pegunduran dirinya saat memberikan pengarahan dalam Rapat Gabungan Syuriyah-Tanfidziyah PBNU di Kampus Unusia Parung, Bogor, Jawa Barat, Rabu (9/3/2022) sore.
Kiai Miftah belum genap dua tahun menjabat ketum MUI. Ia terpilih sebagai ketum dalam Musyawarah Nasional (Munas) X MUI pada 26 November 2020 lalu.
Kiai Miftah mengaku memilih mundur karena mendapat amanah dari forum ahlul halli wal aqdi (Ahwa) pada Muktamar ke-34 NU di Lampung agar tak merangkap jabatan. Pada Muktamar NU tahun lalu itu, Miftah pun ditunjuk sebagai Rais Aam PBNU periode 2022-2026.
“Di saat Ahwa menyetujui penetapan saya sebagai Rais Aam, ada usulan agar saya tidak merangkap jabatan. Saya langsung menjawab sami’na wa atha’na (kami dengarkan dan kami patuhi). Jawaban itu bukan karena ada usulan tersebut, apalagi tekanan,” ujar Miftah.
Sebelum tercatat sebagai petinggi MUI, Miftachul dikenal sebagai seorang kiai kharismatik di kalangan NU. Pelbagai jabatan di tingkatan organisasi Islam terbesar di Indonesia itu pernah diembannya.
Tercatat ia pernah menjabat sebagai Rais Syuriah PCNU Surabaya periode 2000-2005. Lalu, jabatan Rais Syuriah PWNU Jawa Timur 2007-2013 dan 2013-2018. Ia juga pernah menjabat sebagai Wakil Rais Aam PBNU 2015-2018.
Lalu pada 2019, Kiai Miftah menduduki kursi Rais Aam PBNU usai pendahulunya, Ma’ruf Amin menjabat sebagai wakil presiden.
Bila ditarik ke belakang, pria kelahiran Surabaya, Jawa Timur, 30 Juni 1953 itu sudah aktif di NU sejak kecil.
Ia merupakan putra dari Pengasuh Pondok Pesantren Tahsinul Akhlaq Rangkah, Abdul Ghoni. Abdul Ghoni merupakan karib Usman al-Ishaqi Sawahpulo saat sama-sama nyantri kepada Kiai Romli di Rejoso, Jombang.
Sejak kecil, Kiai Miftah turut menghabiskan waktunya sebagai santri. Tercatat ia pernah belajar di Pondok Pesantren Tambak Beras, Pondok Pesantren Sidogiri, hingga Pondok Pesantren Lasem.
Kiai Miftah juga mengikuti Majelis Ta’lim Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Makki Al-Maliki di Malangan, tepatnya ketika Sayyid Muhammad masih mengajar di Indonesia.
Mengikuti jejak sang ayah, Kiai Miftah ikut mendirikan pondok pesantren di daerah Kedung Tarukan, Surabaya bernama Pesantren Miftachussunnah pada 1982 lalu. Sampai saat ini ia masih berstatus sebagai pengasuh pesantren tersebut.
Pada setiap tausyiah agamanya, Kiai Miftah kerap mengingatkan kepada para ulama agar menjadi teladan bagi umat Islam saat berdakwah. Baginya, dakwah harus mengajak, bukan mengejek. Merangkul bukan memukul.
(*)
sumber: CNNIndonesia.com