Menarik untuk diperhatikan substansi pidato atau orasi ilmiah pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Prof Dr HM Soerya Respationo, SH, MH, MM, di Universitas Batam pada tanggal 23 Desember 2023, yang menguraikan mengenai “Kewenangan Bersilang (Cross-Jurisdictional Autority) untuk diteliti lebih mendalam pelaksanaannya di Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) di wilayah pemerintahan Kota Batam. Mengapa demikian?
Oleh : DR. Ampuan Situmeang, SH. MH
Sebab, menurut UUD-45, pasal 18 ayat (1) “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”, artinya, KPBPB itu ada di wilayah Pemerintahan Kabupaten/Kota, dan dikoordinir oleh pemeritahan provinsi dalam hal ini Gubernur sebagai perpanjangan tangan dari pemerintahan pusat.
Berbicara mengenai kewenangan, ada beberapa sudut pandang, Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kata wewenang disamakan dengan kata kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang atau badan lain. Ada juga pendapat lain dari HD Stout wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai seluruh aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik.
Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat. Wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban. Antara lain Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamananan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Ada beberapa kewenangan, seperti kewenangan pemerintah pusat, kewenangan lain yang di atur dalam regulasi.
Philipus M. Hadjon mengatakan, bahwa setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Philipus M Hadjon pada dasarnya membuat perbedaan antara delegasi dan mandat. Dalam hal delegasi mengenai prosedur pelimpahannya berasal dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lainnya dengan peraturan perundang-undangan, dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih ke delegetaris. Pemberi delegasi tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang dengan asas ”contrarius actus”.
Artinya, setiap perubahan, pencabutan suatu peraturan pelaksanaan perundang-undangan, dilakukan oleh pejabat yang menetapkan peraturan dimaksud, dan dilakukan dengan peraturan yang setaraf atau yang lebih tinggi. Dalam hal mandat, prosedur pelimpahan dalam rangka hubungan atasan bawahan yang bersifat rutin. Adapun tanggung jawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi mandat. Setiap saat pemberi mandat dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu.
Kewenangan Bersilang
Bersilang pada kewenangan yang dimaksud pada orasi ilmiah yang disebutkan diatas, merujuk pada situasi di mana satu entitas atau individu memegang kewenangan dalam lebih dari satu domain atau jurisdiksi. Dalam konteks pemerintahan diuraikan bisa berarti bahwa seorang pejabat memiliki tanggung jawab dan kewenangan dalam dua atau lebih struktur atau badan pemerintahan yang berbeda.
Menurut Soerya Respationo dalam orasi ilmianya itu, hal tersebut dapat menimbulkan potensi konfilk kepetingan ketidakjelasan dalam pelaksanaan tugas, serta tantangan dalam koordinasi dan kolaborasi antara badan atau struktur tersebut. Artinya, keadaan ini harus dicegah, bahkan sebenarnya undang-undang sendiri sudah melarang rangkap jabatan kepala daerah, maka dalam PP62/2019 tersebut sudah tegas disebut potensi konflik itu sehingga diamanatkan perlu diselesaikan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan.
Pelaksanaannya di KPBPB Batam
KPBPB Batam adalah peralihan dari Otorita Batam itu diatur jelas dalam PP46/2007, artinya BP Batam tidak sama dengan BP-BP lainnya yang di bentuk oleh Dewan Kawasan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai KPBPB. Sebab, BP bukan Badan Otorita, beda. Dan UU Pemda sudah melarang rangkap jabatan bagi seorang kepala daerah. Lalu, kenapa di Batam dipaksakan, sekalipun sudah ada surat DPR-RI dan ORI (Ombudsman RI) yang menyarankan supaya PP62/2019 yang menjadi dasar untuk pelaksanaan Ex-Officio di Batam sebagai KPBPB di wilayah Pemko Batam tidak diterbitkan, namun Presiden RI tetap saja menerbitkan, sambil mencari formula yang tepat sebagai solusi terhadap dualisme kewenangan yang terjadi di wilayah Pemko Batam.
Ada pernah gagasan untuk melakukan uji materi ke Mahkamah Agung RI atas PP62/2019 tersebut karena bertentangan dengan beberapa UU yang derajatnya lebih tinggi. Namun, sampai sekarang hal ini belum terwujud. Artinya, orasi ilmiah ini sangat relevan untuk menjadi perhatian semua pihak yang berkepentingan ke depan, supaya kepastian hukum berinvestasi di Batam tidak seperti sekarang ini. Di Pemko dan BP Batam sendiri persoalan ini masih seperti api dalam sekam, tidak keliahatan dari luar apinya namun asapnya jelas ada, sehingga yang terjadi adalah tidak satunya kata dengan pelaksanaannya.
Inilah hal penting dalam orasi ilmiah dan pidato pengukuhan tersebut. Semoga pemangku kepentingan dapat memperjuangkan ini di masa mendatang, terutama para calon pemimpin yang akan bertarung di pileg dan pilkada, apa visi dan misinya untuk mengatasi dualisme kewenangan atau kewenangan bersilang yang diuraikan dalam orasi ilmiah tersebut diatas, karena isinya faktual namun solusinya perlu dibahas dan diteliti lebih lanjut oleh para peneliti untuk menemukan solusi yang akomodatif dan berkepastian hukum. (*)
Dr. Ampuan Situmeang SH. MH. merupakan pakar hukum, pemerhati kebijakan publik di Batam dan Kepulauan Riau, penulis masalah sosial dan Mengelola firma hukum : Ampuan Situmeang & Partner.
Catatan ini, pertama kali terbit di socratestalk.com