KASUS perundungan atau bullying pada anak-anak semakin hari semakin mencemaskan dan acap kali terjadi begitu saja tanpa disadari, hal ini tentu saja menjadi kecemasan tersendiri bagi orangtua dan juga guru.
Hal itu terjadi dikarenakan masih rendahnya pemahaman masyarakat tentang dampak dari perundungan yang tentunya sangat berpengaruh terhadap psikis/kejiwaan korban.
Untuk itu, demi mencegah aksi perundungan di sekolah, Pemerinta Kota (Pemko) Tanjungpinang melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pemberdayaan Masyarakat (DP3APM) terus menggiatkan sosialisasi terhadap murid SD dan SMP.
Kepala DP3AMP Tanjungpinang, Rustam, di Tanjungpinang, Jumat (22/7/2022), mengatakan, pihaknya sudah melakukan sosialisasi anti perundungan kepada pelajar SD, kemudian dilanjutkan kepada pelajar SMP.
“Pernah ada satu kasus perundungan belum lama ini. Korbannya, siswi SMP yang ditelanjangi temannya sendiri, kemudian dipublikasikan di status salah satu medsos milik temannya yang lain. Namun kasus ini sudah dimediasi, tidak sampai proses hukum,” katanya, seperti dikutip dari Antara.
Ia berharap kasus serupa tidak terulang lagi. Salah satu upaya yang dilakukan yakni menyosialisasikan anti perundungan kepada pihak sekolah.
Ia menjelaskan anak-anak dilindungi UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.
Berdasarkan undang-undang tersebut, maka anak-anak harus mendapatkan perlakuan yang baik. Perundungan atau bullying merupakan aksi kekerasan yang bertentangan dengan hak asasi manusia dan melanggar UU Perlindungan Anak, karena itu tidak boleh dilakukan.
Perundungan dapat dibagi menjadi tiga kelompok yakni kontak fisik langsung, kontak verbal langsung, dan perilaku nonverbal langsung. Kontak fisik seperti memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang yang dimiliki orang lain.
Sementara kontak verbal langsung misalnya tindakan mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama, sarkasme, merendahkan, mencela atau mengejek, mengintimidasi, memaki, dan menyebarkan gosip.
Sedangkan perilaku nonverbal langsung yakni tindakan melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam, yang biasanya disertai oleh “bullying” fisik atau verbal.
“Perundungan dapat mengancam setiap pihak yang terlibat, baik anak- anak yang menjadi korban, pelaku, anak-anak yang menyaksikan, bahkan sekolah dengan isu bullying secara keseluruhan,” kata Rustam.
“Perundungan ini pula dapat membawa pengaruh buruk terhadap kesehatan fisik maupun mental anak. Pada kasus yang berat, ‘bullying’ dapat menjadi pemicu tindakan yang fatal, seperti bunuh diri dan sebagainya,” sambungnya.
Ia menambahkan bahwa dampak perundungan bagi korban dapat menyebabkan mudah depresi dan marah, tingkat kehadiran di sekolah yang rendah, prestasi akademik siswa menurun.
Sementara dampak bagi pelaku, yang juga anak-anak yakni memiliki rasa percaya diri yang tinggi dengan harga diri yang tinggi pula, cenderung bersifat agresif dengan perilaku yang pro terhadap kekerasan, tipikal orang berwatak keras, mudah marah dan impulsif, toleransi yang rendah terhadap frustasi.
“Memiliki kebutuhan kuat untuk mendominasi orang lain dan kurang berempati terhadap targetnya. Dengan melakukan ‘bullying’, pelaku akan beranggapan bahwa mereka memiliki kekuasaan terhadap keadaan. Jika dibiarkan terus menerus tanpa intervensi, perilaku ini dapat menyebabkan terbentuknya perilaku lain berupa kekerasan terhadap anak dan perilaku kriminal lainnya,” ujarnya.
Ia mengingatkan pula bahwa perundungan juga berdampak bagi siswa lain yang menyaksikan aksi tersebut. Jika perilaku itu dibiarkan tanpa tindak lanjut, maka para siswa lain yang menjadi penonton dapat berasumsi bahwa perundungan adalah perilaku yang diterima secara sosial.
“Dalam kondisi ini, beberapa siswa mungkin akan bergabung dengan penindas karena takut menjadi sasaran berikutnya dan beberapa lainnya mungkin hanya akan diam saja tanpa melakukan apapun dan yang paling parah mereka merasa tidak perlu menghentikannya,” katanya.
Untuk mencegah aksi perundungan di sekolah, kata dia, pihak sekolah harus membangun komunikasi efektif antara guru dan murid, diskusi dan ceramah mengenai perilaku negatif perundungan di sekolah yang tidak boleh ditiru, menciptakan suasana lingkungan sekolah yang aman, nyaman dan kondusif, dan menyediakan bantuan kepada murid yang menjadi korban perundungan.
“Pertemuan berkala dengan orangtua atau komite sekolah perlu dilakukan,” kata Rustam.
(*)