INDONESIA sedang menghadapi krisis pertanian. Petani semakin menua, sementara kaum muda enggan mengambil alih akibat stigma yang masih melekat bahwa pertanian adalah pekerjaan kotor dan berbayaran rendah.
UNTUK mengatasi hal ini, pemerintah meluncurkan program “Petani Milenial” yang bertujuan menarik perhatian generasi muda untuk kembali ke ladang dengan janji lahan, peralatan, dan pendapatan minimal Rp10 juta per bulan.
Namun, kalangan petani dan ahli meragukan program ini, mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam mewujudkan janjinya serta keberhasilan dalam merekrut individu yang tepat.
Didik Purwanto, petani berusia 40 tahun yang kembali ke dunia pertanian setelah kehilangan pekerjaan akibat pandemi COVID-19, mengaku kesulitan untuk mendaftar program Petani Milenial karena lokasi dia di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tidak tercakup program.
“Siapa sih yang tidak tergiur sama uang Rp10 juta, kami ingin tahu programnya. Apakah kita diberikan peralatan modern dan canggih, atau hanya mengolah dan merawat lahan pemerintah,” kata Didik kepada BenarNews.
“Jika masih konvensional saya kok ragu petani muda bakalan mau. Karena kerjaannya berat lho. Anak muda jaman sekarang disuruh nyangkul, bajak dan nyemplung ke sawah pasti tidak mau,” kata dia.
Kesenjangan antara visi pemerintah dan kenyataan di lapangan menjadi tantangan yang dihadapi sektor pertanian Indonesia.
Banyak petani muda, seperti Didik, yang berjuang untuk mencukupi kebutuhan hidup, meragukan apakah program Petani Milenial benar-benar menarik seperti yang dijanjikan.
Banyak kalangan di komunitas pertanian berpendapat bahwa meskipun program pemerintah memiliki niat baik, sering kali program tersebut tidak tepat sasaran dalam mengatasi tantangan mendalam yang membuat pertanian menjadi profesi yang tidak menarik.
Tantangan tersebut meliputi risiko finansial, pendapatan yang tidak stabil, dan kerja keras yang melelahkan dalam bertani tradisional, yang tidak ingin dijalani oleh generasi muda, meskipun dengan adanya teknologi modern.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman tetap optimistis, dengan menyatakan bahwa lebih dari 20.000 anak muda telah mendaftar untuk program ini.
“Ada bonus demografi 52%, ada sumber daya alam melimpah, ada teknologi buatan anak bangsa, dan milenial ini tidak mungkin dia ikut, tidak mungkin mau terlibat, kalau tidak menguntungkan,” kata Amran bulan lalu.
Program ini membagi hasil pertanian dengan sistem 70-30, di mana 70% keuntungan diberikan kepada petani dan 30% kepada pemilik lahan, katanya.
Kementerian Pertanian telah merekrut 3.000 petani milenial yang aktif terlibat dalam persiapan lahan dan produksi pertanian, dengan tujuan meningkatkan partisipasi menjadi 50.000 orang untuk mengolah 3 juta hektare lahan di seluruh Indonesia, tambahnya.
Entang Sastraatmadja, ketua Asosiasi Petani Indonesia, mengungkapkan keraguan bahwa anak muda benar-benar tertarik pada dunia pertanian, mengatakan bahwa banyak peserta program petani milenial berasal dari kalangan menengah ke atas dan kurang memiliki pengalaman langsung dalam bertani.
“Petani milenial sepertinya tidak akan mampu menyelesaikan masalah yang selama ini menjerat kehidupan kaum muda yang tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga petani gurem dan buruh tani,” kata Entang kepada BenarNews.
“Mereka seolah-olah tampil hanya sebagai penonton, menyaksikan anak muda perkotaan yang telah memproklamirkan diri sebagai Petani Milenial itu.”
Sektor pertanian Indonesia semakin tertekan. Meskipun merupakan negara agraris, sebagian besar pertanian di Indonesia berskala kecil dan dilakukan secara subsisten, dengan lebih dari 15 juta petani Indonesia mengolah lahan yang lebih kecil dari 0,5 hektar, menurut data Badan Pusat Statistik.
Banyak petani yang berpenghasilan di bawah garis kemiskinan, dengan pendapatan yang sangat bergantung pada fluktuasi pasar dan pola cuaca yang tak menentu, kata para ahli.
“Kalau pendapatan bagus pasti mau kita,” kata Yadi Sofyan Noor, Ketua KTNA (Keluarga Tani Nelayan Andalan), kepada BenarNews.
“Tapi banyak anak muda yang mempertanyakan benar nggak ini? Kalau menanamnya di atas 5 hektare sih mungkin saja, tapi kalau 1 hektare mana mungkin,” kata dia.
Bayu Krisnamurthi, mantan wakil menteri pertanian, mengatakan bahwa ia percaya Indonesia sudah memiliki cukup banyak petani, tetapi mereka kekurangan sumber daya dan dukungan.
Bayu menjelaskan bahwa sekitar setengah dari petani Indonesia sebetulnya terjebak dalam profesi ini, dengan banyak dari mereka bekerja sebagai buruh tani untuk orang lain.
“Banyak anak muda yang sudah berhasil di dunia pertanian. Ini yang harus kita tekankan. Kita akan terus dorong agar sektor pertanian dapat menjadi pilihan karier yang menarik, bahkan menjanjikan,” kata dia dalam rilis yang diterima BenarNews.
Ia memperingatkan bahwa meskipun teknologi dapat menarik sebagian anak muda untuk beralih ke pertanian yang lebih menguntungkan, tetapi sektor ini terutama pertanian padi, menghadapi tantangan mendalam yang memerlukan lebih dari sekadar solusi teknologi.
Firminus Dodi, mantan guru berusia 35 tahun yang berasal dari Kalimantan Barat yang mendaftar program Petani Milenial, mengatakan ia terjun ke ladang karena cinta dengan ilmu alam.
Ia menjelaskan, di bidang hortikultura, ia bisa menjual jagung pipilan senilai Rp5000/kg, sementara jika sudah dikemas untuk pakan ternak bisa bertambah menjadi Rp8000/kg.
“Kalau dihitung ya penghasilannya bahkan bisa mencapai lebih dari Rp10 juta,” ujar Dodi.
Ia mengakui merubah pola pikir pemuda untuk menjadi petani tidaklah mudah.
“Di Indonesia ini kan petani dikenal kumuh, hitam, kucel dan miskin sehingga minat anak muda kurang. Tetapi sekarang banyak teknologi seperti drone dan aplikasi yang disesuaikan dengan HP juga jadi memudahkan,” kata dia.