Hubungi kami di

Kanal Teman

Ketika Monyet itu “Mati”

Terbit

|

ADA musik terdengar di lorong depan perumahan aku tinggal, sore itu. Ada teriakan seseorang. Ada tawa dan cuitan kegembiraan anak-anak kecil. Saat aku keluar, ada yang “mati” di aspal jalan perumahan yang kualitasnya tak cukup bagus.

Yang “mati” tadi adalah seekor monyet mengenakan topi putih merah. Ia mengenakan atau tepatnya dipakaikan pemiliknya kaos lengan panjang warna biru, dan celana panjang yang warnanya sama. :Kematiannya” sungguh nikmat kayaknya. Tangan kanan tergeletak di aspal, tangan kiri menyentuh samping celana bagian kanan, kaki kiri tertekuk sedikit, dan kaki kanan menyentuh roda gerobak.

Acara “mati” itu tak lama, hanya sekitar satu menit. Untuk bangun dari “mati” ternyata cukup mudah. Saat tali yang mengikat tubuhnya ditarik oleh pewangnya yang berdiri beberapa meter darinya, monyet berekor panjang itu pun bangkit dari “kematian” singkat. Segera ia mendorong gerobak beroda dua pintarnya.

BACA JUGA :  "Tidak Lupa Tuhannya"

Seandainya monyet itu bisa bicara dengan logat manusia, mungkin semua penonton mendapatkan keluhannya. Memang ia memiliki gaya bicara sendiri, namun apalalah daya anak-anak, orangtua yang menyaksikan acara topeng monyet masuk perumahan pasti nggak mudeng apa yang diomongkan monyet.

Aku ingat waktu itu, di taman Tugu Monas, Jakarta, di bawah rerimbunan pohon seekor monyet dengan lincah memeragakan sejumlah keahlian. Tak lama kemudian, saat kepala daerah baru terpilih, ada kebijakan melarang permainan topeng monyet. Alasannya, monyet itu mahluk hidup yang butuh hidup layak. Bagi yang kedapatan masih melakukannya, orangnya kena denda, monyetnya dimasukkan ke panti hewan atau penangkaran untuk dipelihara.

Lalu para pemilik topeng monyet pindah ke daerah-daerah, seperti Tanjungpinang. Mereka mencari daerah yang belum mengurusi soal topeng monyet. Lha iya, wong ngurusi banjir, seleksi CPNS yang dikabarkan banyak permainan sana-sini, mutasi yang seenaknya saja belum tuntas kok mau ngurusi monyet. Atau jangan jangan pembuat kebijakan di daerah tersebut masih melihat topeng monyet adalah hiburan rakyat yang bisa dihadirkan dengan biaya murah.

BACA JUGA :  Terkenang di Ngenang

Sangat murah sebenarnya. Pasalnya untuk menyaksikan topeng monyet seseorang tak harus mengeluarkan kontrak. Macam mendatangkan artis atau penyanyi ibukota itu lho. Topeng monyet adalah hiburan dengan sistem tebak-tebak buah manggis. Siapa yang bisa nebak dapat senyum manis. Artinya keberuntungan bagi pemilik topeng monyet tadi. Kalau banyak penonton akan banyak yang nyawer. Eh belum tentu, kadang banyak penonton maunya cuma liat, giliran disodori topi oleh monyetnya gak mau jatuhin duit kertas atau koin. Apalagi kalau penontonnya sedikit, ya cukuplah buat beli nasi.

Baca terus tulisan ini di sini >>>

 

Advertisement
Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Sebaran

Facebook