SEORANG gelandang yang elegan dengan sentuhan bola yang mematikan pernah dimiliki Real Madrid di akhir 90-an.
Fernando Redondo, mendapatkan banyak sanjungan. Termasuk si Pangeran Kegelapan.
Julukan itu disematkan padanya setelah menjadi tokoh utama kemenangan Madrid atas Manchester United pada perempat final Liga Champions 1999/2000.
“Mereka memainkan sebuah sistem yang tidak mungkin bisa meraih kesuksesan. Satu orang gelandang tengah. ‘Yang benar saja, itu tidak akan berhasil,’ pikirku pada saat itu,” kata Ferguson menyoal formasi 3-3-2-2 yang diterapkan Madrid saat melawan Manchester United di leg kedua babak perempat-final Liga Champions Eropa musim 1999-2000 lalu.
Satu orang gelandang tengah dalam sistem Madrid sebetulnya tidak hanya mengejutkan Ferguson, tetapi juga para pengamat sepakbola.
Saat itu Manchester United mempunyai duet gelandang tengah terbaik di Eropa, Paul Scholes dan Roy Keane.
Keduanya seperti Luigi dan Mario, dua karakter game ikonik keluaran Nintendo, yang bisa dengan mudah memporak-porandakan kerajaan lawan.
Lalu, Madrid akan melawan keduanya dengan satu orang gelandang tengah? Mereka terlihat seperti ingin melawan seisi dunia.
Namun pada kenyataannya, sistem tersebut berhasil. Fernando Redondo, satu-satu gelandang tengah Madrid pada pertandingan itu, membuat Ferguson hanya bisa menelan ludah di sepanjang pertandingan.
Ia juga berhasil membuat Roy Keane dan Paul Scholes kelimpungan. Mereka berdua nyaris tak bisa mendekatinya, apalagi menyentuhnya. Ia benar-benar membuat mereka berdua susah tidur setelah pertandingan itu.
Saat Keane dan Scholes mencoba merebut bola dari kakinya, seperti seorang penari balet yang lincah, Redondo akan berkelit. Saat mereka kemudian mencoba untuk menebak umpan-umpannya, mereka semakin telihat dipermainkan.
Redondo sangat cerdik dalam memainkan umpan satu-dua sentuhan yang arahnya sukar ditebak oleh keduanya.
Sebaliknya, saat Scholes dan Keane menguasai bola, tanpa harus berjibaku, Redondo bisa membuat mereka terlihat seperti baru belajar mengoper bola. Bagaimana tidak, operan mereka berdua sering mentah di kaki kapten Real Madrid tersebut.
“Backheel Redondo merupakan salah satu hal terindah yang pernah saya saksikan di atas lapangan.”
“Setiap hal yang dilakukan pemain Madrid mematuk kepala saya. Umpan satu sentuhan mereka luar biasa. Mereka seperti ahli ekomomi, tidak ada lari yang sia-sia, dan pergerakan mereka mempunyai tujuan jelas,” saat Roy Keane mengatakan itu sesudah pertandingan, ia tahu bahwa Redondo-lah yang membuat Madrid tampil seperti itu.
Ferguson bahkan lebih gamblang dalam memberikan pujian :
“Redondo pasti mempunyai magnet di kakinya. Sukar dipercaya, ia begitu luar biasa. Pertandingan ini menjadi miliknya. Setiap saat kami melakukan serangan maupun setiap Madrid mulai melancarkan serangan, bola seperti menempel di kakinya. Setiap saat!”
Kemudian, setelah puas mempermainkan Scholes dan Keane, serta membuat wajah Sir Alex Ferguson semakin memerah, Redondo juga sukses membuat mulut para penggemar Manchester United yang memadati Old Trafford menganga seperti pintu masuk sebuah gua.
Bergerak dari sisi kiri daerah pertahanan United, ia melakukan backheel, membuat bola melewati sela-sela kaki Henning Berg, untuk kemudian memberikan umpan matang kepada Raul Gonzalez:
Manchester United, juara bertahan Liga Champions Eropa dan tim yang sedang unggul 10 angka dari pesaing terdekatnya untuk meraih gelar Premier League pada saat itu, 0, Real Madrid 3.
“Backheel Redondo merupakan salah satu hal terindah yang pernah saya saksikan di atas lapangan,” Perluigi Collina, wasit yang memimpin jalannya pertandingan tersebut bahkan tak bisa bersikap “netral” karena salah satu aksi Redondo pada pertandingan itu. Sementara itu, Rob Smith, yang mengenang pertandingan itu melalui tulisannya di majalah Blizzard, salah satunya karena backheel-nya itu, mengatakan bahwa Redondo bukan manusia, ia manusia super.
Pada akhirnya, Manchester United memang berhasil bangkit pada pertandingan tersebut. Tetapi, mereka tak mempuyai cukup waktu untuk mengejar ketertinggalan di mana hanya bisa mencetak dua gol balasan.
Meski begitu, Ferguson mendapatkan pelajaran berharga pada pertandingan itu. Penampilan Real Madrid — terutama Redondo — malam itu membuatnya sadar bahwa selain menyerang, bertahan juga merupakan bagian penting dari kesuksesan sebuah tim.
Jonathan Wilson, penulis taktik sepakbola asal Inggris, kemudian menjelaskannya melalui tulisannya yang berjudul “How Did a Nutmeg Change Football Tactics in The Naughties?” di Guardian.
Sumber : Four Four Two / Guardian