Ini Batam
Penentuan Lokasi Labuh Jangkar Di Perairan Batam Ditargetkan Tuntas Dalam Dua Minggu

FOCUS Group Discussion (FGD) terkait rencana Penertiban Anchorage Area, Hambatan Investasi, dan Revitalisasi Kawasan Perairan Batam, menghasilkan beberapa keputusan penting.
Salah satunya adalah rencana pemerintah menetapkan lokasi resmi kawasan labuh jangkar sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) dan didukung oleh pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM).
Dalam FGD yang dilaksanakan di Aula Balairungsari, Badan Pengusahaan (BP) Batam, Kamis (12/3), saat ini ada sekitar 19 lokasi labuh jangkar di Batam yang ditetapkan dengan dasar yang berbeda-beda. Sehingga kecenderungan yang terjadi, membuat pendapatan negara dari sektor ini menjadi tidak optimal.
Dengan adanya penentuan lokasi yang berdasarkan mandat yang jelas ini, maka akan memudahkan proses penegakan hukum atas pelanggaran yang ada.
“Itu (Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) dan didukung oleh pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM)) akan jadi pedoman bagi teman-teman penegakan hukum di laut. Dua minggu ditargetkan tuntas,” kata Direktur Kepelabuhanan/Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan, Subagyo dalam acara tersebut.
Sejauh ini, sudah ada penindakan terhadap 20 kapal dari berbagai negara yang berlabuh di perairan Batam, mereka diamankan karena tidak memiliki kelengkapan dokumen yang menjadi syarat untuk melakukan proses labuh jangkar dan tidak melakukan pembayaran.
Harapannya, adanya penetapan lokasi labuh jangkar yang sesuai dengan aturan yang ada, potensi labuh jangkar yang diperkirakan berada di angka Rp 4,5 sampai Rp 5 triliun pertahun, perlahan bisa direalisasikan.
“Di Singapura, kapal dengan ukuran antara 300 sampai 400 meter berlabuh, satu hari bayar USD 6.000, hari kedua dan ketiga semakin mahal supaya bongkar tidak lama-lama. Di Indonesia malah tidak bayar, karena mereka ngumpet di posisi-posisi yang tidak jelas,” kata Subagyo lagi.
Potensi lain yang juga akan ditingkatkan dalam FGD ini adalah soal Traffic separation Scheme (TSS) yang saat ini didominasi oleh Singapura dan Malaysia. Dimana jasa pandu kapal di lokasi ini berada di angka sekitar USD 6.000. Dalam setahun, Indonesia hanya sanggup melakukan pemanduan terhadap 6 dari banyak kapal yang melintas di kawasan ini.
“Saat ini kita hanya dapat 6 kapal per tahun. Ini yang akan kita maksimalkan,” kata Subagyo
Pemerintah juga akan mengoptimalkan potensi Vessel Traffic System (VTS) yang saat ini juga dikuasai Singapura dan Malaysia. Terakhir, pemerintah akan mendorong optimalisasi Indonesia sebagai anggota International Maritime Organization (IMO) kategori C.
Kategori C yang menaungi anggota IMO yang memiliki kepentingan khusus dan peran terbesar dalam transportasi laut atau navigasi. Pemilihan Anggota Dewan Kategori C turut mempertimbangkan keterwakilan semua daerah geografis utama di dunia.
Dalam hal ini, sebagai anggota IMO Kategori C, Indonesia akan mendorong Selat Malaka dan Selat Singapura sebagai bagian dari Maritime Polition yang berkaitan dengan pengawasan di jalur tersebut.
*(Bob/GoWestID)