Khas
Pengelolaan Sampah untuk Energi Listrik Terbarukan Dalam Sorotan KPK
VOLUME sampah di indonesia diperkirakan 64 juta ton per tahunnya. Program pemerintah untuk meningkatkan bauran energi melalui EBT dengan target sebesar 23% di 2025, saat ini baru 10%.
Pemerintah kemudian mencanangkan percepatan penanganan sampah melalui Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Sejak 2016, telah dikeluarkan tiga Perpres untuk percepatan pembangunan PLTSa.
Terakhir, adalah Perpres 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Namun, hingga akhir tahun 2019 belum satu pun PLTSa berhasil terbangun.
Dalam konperensi Pers KPK tentang Pengelolaan Sampah untuk Energi Listrik Terbarukan jumat (7/3/2020) kemarin, mereka menyampaikan kajian ini untuk mendukung program pemerintah dan mendorong investasi.
Kajian KPK menemukan bahwa ada permasalahan di dua aspek, yakni: model bisnis, dan basis teknologi.
1. Aspek Bisnis
IMPLEMENTASI KPBU (Kerja sama Pemerintah dan Badan usaha) kontrak bisnisnya terpisah antara Pemda-Pengembang dan Pengembang-PLN menyebabkan proses berlarut dan berpotensi kepada praktik bisnis yang tidak fair.
Tipping fee memberatkan pemda (mengumpulkan sampah dari rumah tangga hingga ke tempat pengolahan sampah pakai anggaran APBD). Tarif beli listrik memberatkan PLN (diberlakukan sistem “take or pay” berapapun sampah didapat, dibayar sesuai perjanjian. Kondisinya jumlah sampah tidak sesuai target kuota sampah. Kondisi ini hanya menguntungkan pengusaha)
Jika PLTSa dijalankan, maka pemerintah perlu memikirkan beban anggaran sekitar Rp3,6 Triliun.
Hal itu dhitung dari: biaya langsung pengolahan sampah Rp2,03 Triliun yang disediakan per tahun untuk dibayarkan ke badan usaha dan perkiraan subsidi yang harus dibayarkan ke PLN sebesar Rp1,6 Triliun atas selisih harga tarif beli listrik PLTSa yang tinggi.
Risiko beban anggaran ini menjadi signifikan mengingat masa kontrak PLTSa cukup panjang yakni 25 tahun. Sementara reserve margin pasokan listrik PLN di Jawa Bali sudah mencapai 30% atau sudah tidak ada urgensi pasokan listrik baru di wilayah Jawa dan Bali
2. Basis Teknologi
BELUM ada teknologi yang mampu melakukan (proven) hal ini.
Kebijakan sebaiknya waste to energy tidak waste to electricity.
Karenanya, rekomendasi KPK adalah revisi Perpres nomor 35 tahun 2018 agar investasi bisa berjalan.
KPK mendukung program pemerintah untuk mendorong investasi. Namun, tentu investasi yang akan membawa manfaat besar bagi negara dan masyarakat serta menghindari potensi praktik yang tidak adil karena menguntungkan salah satu pihak saja.
KPK melihat bahwa ada 2 persoalan dalam hal ini, yaitu: pengelolaan sampah dan penyediaan listrik untuk PLN.
Dengan kebijakan waste to energy, persoalan sampah dapat diselesaikan dengan teknologi incinerator atau mengubahnya menjadi bricket atau bentuk lainnya. Mengingat jumlah sampah di beberapa daerah tidak mencapai kuota target dan listrik yang dihasilkan jumlahnya kecil, tapi dengan biaya yang mahal.
(*/GoWestID)
Sumber : KPK RI